“SOSOK IDEAL” DI NEGARA DUNIA KETIGA

“Hero..hero..My hero.. “ teriakan yang sering terdengar ditelinga kita

Siapa sih orangnya yang enggak punya sosok ideal…?

Karena setiap manusia butuh manusia lainnya (baca: contoh) sebagai bentuk kebutuhan.

Sebenarnya sosok ideal itu bukan masalah bila kita lihat sebagai contoh yang baik. Yang artinya bila kita melihat dari kondisi yang hanya cocok buat kita. Tapi sosok ideal bisa menjadi sebuah masalah yang sangat mendasar dalam hubungan cinta, terlebih dalam hubungan cinta secara umum. (cinta keluarga dan Negara)

Dan untuk memudahkan kita melihat bahwa sosok ideal bisa menjadi permasalahannya, maka saya akan mencoba mengilustrasikan sebuah obrolan sehari-hari dibawah ini :

T : Kamu bisa enggak sih jadi kaya Si Anu (sosok ideal)…?

J : Aku enggak bisa janji, terlebih lagi harus terpaksa menjadi Si Anu.!!

T : Kenapa enggak bisa sih..? Si Anu itu selalu memberi apapun buat kekasihnya.

J : Masa sih.? Memangnya apa saja yang Si Anu beri pada kekasihnya..?

T : Banyaklah seperti inilah itulah pokoknya banyak deh..(ekonomi yang berlebihan)!!!

aku kan jadi iri, makanya kamu bisa enggak jadi kaya Si anu..?

J : Aku bukannya tidak mau menjadi apa yang kamu mau, tapi aku akan mencoba memberi

apapun dari apa yang aku punya untuk kamu sayang..!!!

T : Pokoknya kamu harus kaya Si Anu, aku enggak mau dengar alasan-alasan lagi..

J : Kalau kamu nuntut aku terus mendingan kamu kejar aja Si Anu itu, lagian aku sudah mulai

bosan dari dulu, persoalannya yang itu-itu aja.. enggak ada yang lain apa?

Kamu itu belum bisa membedakan mana yang sosok ideal atau sosok bergengsi.

Ilustrasi diatas memang sering terjadi di kehidupan kita bukan? Terlebih yang sudah berkeluarga atau yang sudah membangun rumah tangga, pasti sering mengalami obrolan seperti itu. Dunia bukan punya hanya dua warna hitam dan putih. Tapi dunia punya banyak warna yang artinya dunia selalu memberikan opsi buat kita untuk memilih warna-warna yang kita butuhkan. Tapi ini juga yang disayangkan kita hanya bisa melihat dua warna itu saja yaitu selalu hitam atau putih. Dan inilah kita yang sering melihat satu permasalahan itu hanya dari satu sisi saja.

Sosok ideal ini sebenarnya menjadi samar atau diremang-remangkan dengan sosok bergengsi. Apalagi hidup di Negara dunia ketiga yang masalahnya selalu ditekankan pada ekonomi, padahal kalau kita mau lebih jeli tentunya bukan ekonomi yang menjadi masalah utamanya tapi moral dan kesadaran kitalah yang bermasalah.

Sosok ideal itu bukan harus selalu dilihat dari segi ekonomi tapi dapat kita lihat mereka yang disebut sosok ideal adalah mereka yang mempunyai moral dan kesadaran yang tinggi. Ekonomi bukan jaminan menjadi sosok ideal, buktinya ekonomi seseorang bisa saja terlihat baik tapi benarkah cara mendapatkannya dengan cara yang baik juga? Di Negara dunia ketiga seperti Negara kita ini yang namanya korupsi bukan hal yang aneh dan orangnya yang menjalankannya yang biasa disebut koruptor atau biangnya penjahat bisa jadi sosok ideal. Dan ini yang anehnya bukan..?

Sosok ideal seperti nabi Muhammad, Yesus, Budha dan sosok-sosok lainnya yang berangkat dari segi moral dan kesadaran tidak berlaku menjadi sosok ideal. Mereka hanya menjadi sosok angan-angan yang adanya dalam angan-angan.  Dan sosok ideal lainnya yang berangkat dari HAM seperti Marsinah, Gie, R.A Kartini dan banyak juga yang lain-lainya hanya menjadi sosok sejarah yaitu sosok yang ada hanya dalam ingatan sejarah, itupun bila kita mau menengok kembali sejarah.

Di Negara dunia ketiga sosok ideal seperti mereka-mereka itu jarang sekali dijadikan sebagai sosok yang hidup dalam kenyataan. Merekalah yang sebenarnya menjadi sosok suri teladan buat pembangunan moral, kesadaran dan nilai-nilai yang memperjuangkan HAM. Dan seharusnya kita yang sudah punya masalah dari segi kepribadian seperti moral, kesadaran sampai pada sosial dapat belajar dan mencontoh dari mereka sebagai tatanan dasar sebuah sosok ideal.

Jelas berbeda antara sosok ideal dan sosok bergengsi. Sosok bergengsi itu sering menggores luka hati dan membawa kita pada stigma, terlebih kita hanya bisa memanjakan mimpi pada tingkat tong sampah. Ini semua terjadi karena sulitnya kita membedakan sosok ideal dan sosok bergengsi.

Semangat kekeluargaan Negara ini bisa hancur bila kita yang hidup di antara keluarga-keluarga kecil sampai bentuk Negara, punya penilaian yang salah pada sosok bergengsi yang telah dinilai menjadi sosok ideal.Kesalahpahaman menilai sosok ideal seperti ini haruslah dihentikan karena bila tidak dihentikan dari sekarang maka akan jadi budaya yang memiskinkan kita selamanya.

Dalam satu hubungan yang saya rasa, saya lihat dan kemungkinan bukan saya saja yang merasakanya. Bahwa hidup dalam tekanan keambiguitasan membuat kita bisa melihat sebuah hubungan hanya bisa menuntut sosok bergengsi dari pada menjalin satu hubungan yang berkualitas. Kasusnya banyak seperti perceraian, mendominasi anak menjadi seperti sosok bergengsi, sehingga seorang anak stress karena harus mengikuti kemauan orang tua yang telah salah menilai bahwa kuantiti itu lebih utama dibanding kualitas. Padahal kuantiti bukan jaminan menjadikan anak seorang yang berkualitas.

Pernah saya alami dalam satu kelas waktu sekolah dulu di tanya oleh seorang guru dari 10 murid yang mengikuti pelajarannya. Satu pertanyaan yang guru sampaikan itu pada murid-muridnya seperti ini “kamu, kamu, kamu atau kalian sudah lulus sekolah ingin menjadi apa?”.Dari 10 murid itu 8 orangnya menjawab “mau kerja cari uang” dan 2 orang mau menjawab buka “usaha sendiri”. Inilah yang hasilnya 2 : 8 dan bila di persentasikan hanya 20 % yang berkualitas dan 80 % memilih kuantiti. Ini semua karena pelajaran keluarga begitu pentingnya hingga menanamkan sosok bergengsi pada kita sejak kecil sehingga mempengaruhi kita memilih berkuantiti dibanding berkualitas.

Sebuah pemikiran yang tertanam lama itu sulit dihilangkan bila kita tidak ada sebuah keberanian untuk melawan, merubah pola pikir dan memberi waktu pada hal-hal yang tidak kita sukai. Maka akhir tulisan ini, saya penggal satu kutipan dari GIE “Lebih baik di asingkan dari pada menyerah pada kemunafikan”.

Salam Perubahan.

~ Memang nikmat membaca itu tapi lebih nikmat lagi bila kita menulis, dan terus berkarya ~

Oleh Gw Untuk Lo~  PiSs ah…!! :p